Selasa, 08 Maret 2016

Pengertian Risiko, Macam-Macam Risiko, Hazard, Perils, dan Kerugian Dalam Hukum Asuransi



Pengertian Resiko

Risiko adalah bahaya, akibat atau konsekuensi yang dapat terjadi akibat sebuah proses yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan datang. Dalam bidang asuransi, risiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan ketidakpastian, di mana jika terjadi suatu keadaan yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan suatu kerugian.
Macam-macam risiko yang umum di kenal dalam usaha asuransi antara lain meliputi:
·        Risiko murni atau pure risk adalah ketidak pastian terjadinya suatu kerugian atau dengan kata lain hanya ada suatu peluang merugi dan bukan suatu peluang keuntungan. Risiko murni adalah suatu risiko yang bilamana terjadi akan memberikan kerugian dan apabila tidak terjadi maka tidak menimbulkan kerugan namun juga tidak menimbulkan keuntungan. Risiko ini akibatnya hanya ada 2 macam: rugi atau break event, contohnya adalah pencurian, kecelakaan atau kebakaran.
  • Risiko spekulatif atau speculative risk adalah risiko yang berkaitan dengan terjadinya dua kemungkinan, yaitu peluang mengalami kerugian financial atau memperoleh keuntungan. Risiko ini akibatnya ada 3 macam: rugi, untung atau break event, contohnya adalah investasi saham di bursa efek, membeli undian dan sebagainya.
  • Risiko individu atau individual risk adalah kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada kehidupan sehari-hari. Misalnya risiko yang akan tibul bila kita memiliki rumah, mobil, melakukan investasi usaha, atau menyewa apartemen. Risiko ini di bagi ke dalam tiga macam risiko, yaitu:
     Risiko pribadi atau personal risk adalah risiko yang mempengaruhi kapasitas atau kemampuan seseorang dalam memperoleh keuntungan, cotohnya adalah mati muda, uzur, cacat fisik, dan kehilangan pekerjaan.
     Risiko harta atau property risk adalah risiko terjadinya kerugian keuangan apabila kita memiliki suatu benda atau harta. Yaitu adanya peluang harta tersebut untuk hilang, di curi, atau rusak. Kehilangan suatu harta dapat di bedakan menjadi dua jenis:
a)   Kerugian langsung atau direct losses terjadi apabila harta kita hilang atau rusak. Kerugian finansial terjadi karena kita kehilangan nilai dari harta tersebut, uang yang kita investasikan di dalamnya dan biaya yang di gunakan untuk menggantikannya.
b)   Kerugian tidak langsung atau indirect losses (consequential) adalah setiap kerugian yang terjadi akibat kerugian asal (original losses). Contoh dari kerugian ini adalah kehancuran rumah karena bencana alam sehingga kita harus mengeluarkan biaya untuk tempat tinggal sementara dan renovasi rumah.
     Risiko tanggung gugat atau liability risk adalah risiko yang mungkin kita alami atau derita sebagai tanggung jawab akibat kerugian atau lukanya pihak lain. Jika kita mennggung kerugian seseorang, maka kita harus membayarnya, sehingga kerugian pihak lain menyebabkan kita mengalami kerugian finansial. Contohnya adalah memberi ganti rugi kepada orang akibat anda menabraknya.

  • Resiko Khusus atau particular risk adalah resiko yang apabila terjadi, baik penyebab maupun akibatnya hanya bersifat pribadi (lokal) tidak meliputi kerugian secara kuantitas dan kualitas yang sangat luas. Contohnya adalah pencuri, pengangguran dll.
  • Resiko Fundamental atau fundamental risk adalah suatu resiko yang terjadi karena disebabkan oleh satu pihak tertentu (kebijakan pemerintah, bencana alam), dan menyebabkan dampak yang sangat luas. Contohnya adalah gempa bumi, letusan gunung berapi. Dll.

Seringkali muncul pertanyaan dari resiko yang telah dijelaskan diatas. Apakah semua resiko dapat dialihkan ke perusahaan asuransi? atau resiko tersebut harus di tanggung sendiri? atau di tanggung oleh pemerintah? Jawabannya adalah hanya ada 2 (dua) resiko yang dapat diasuransikan. Pertama,  Resiko Murni (Pure Risk). Kedua, Resiko Fundamental (Fundamental Risk) dapat diasuransikan dengan berbagai syarat.

Akan tetapi tidak semua Resiko Murni (Pure Risk) dapat diasuransikan, Resiko yang dapat diasuransikan harus memiliki syarat-sayarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah :

  • Akibat atau dampak harus dapat dinilai dengan uang, yang berarti bahwa resiko tersebut harus bersifat finansial (implisit)
  • Resiko bersifat Homogen (sama) dan terdapat dalam jumlah yang banyak. (the law of the large number)
  • Resiko tidak bisa di prediksi, harus terjadi secara kebetulan dan tidak disengaja.
  • Apabila resiko tersebut terjadi. Maka, tertanggung (client asuransi) akan mengalami kerugian, dalam artian tertanggung harus memiliki insurable interest atas objek yang akan dipertanggungkan (diasuransikan)
  • Resiko tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum atau hukum yang berlaku di negara tersebut. Contoh., narkoba tidak boleh jadi objek yang di asuransikan. 
  • Pembebanan premi harus sesuai dengan tingkat resiko yang dihadapi.


Sering orang mempersamakan pengertian Risiko dengan Peril dan Hazard. Memang ketiga istilah tersebut berkaitan erat satu sama lain akan tetapi berbeda dalam pengertian. Peril adalah suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian, sedangkan Hazard adalah keadaan yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya suatu peril.

Pengertian Hazard

Hazard atau bahaya dapat di definisikan sebagai keadaan yang dapat menimbulkan atau meningkatkan terjadinya kerugian (chance of loss) dari suatu bencana yang terjadi. Hal-hal seperti pemeliharaan rumah-tangga yang buruk, jalan raya yang rusak berlobang, mesin yang tidak terawat, dan pekerjaan yang berbahaya adalah hazards, karena itu semua merupakan keadaan yang dapat meningkatkan terjadinya kerugian.

Hazard Fisik (Physical Hazard)

Physical Hazards  adalah hazards yang berkenaan dengan aspek-aspek fisik dari risiko yang dapat mempengaruhi timbulnya atau besarnya suatu kerugian, baik dari segi sering atau jarang terjadinya (frequency) maupun dari segi tingkat keparahan dari kerugian/kerusakannya (severity).

Untuk memperjelas pengertian dan memberikan gambaran yang lebih jelas, dibawah ini adalah contoh-contoh physical hazard. 

Bangunan

(a) Dinding yang terbuat dari kayu
(b) Atap dari balian lemak dan mudah terbakar
(c) Gudang yang menyimpan barang-barang mudah terbakar, seperti; bahan-bahan kimia, minyak tanah, dan lain sebagainya
(d) Dinding bangunan dari batu bata atau beton

Hazards pada item (a), (b) dan (c)  mengandung physical hazard tinggi yang dapat memudahkan terjadinya kebakaran ataupun juga dapat memperbesar kerugian yang ada jika terjadinya kebakaran. Sedangkan hazards pada item (d) mengandung physical hazards yang rendah.

Kendaraan Bermotor

Pengendaraan di kota-kota sibuk dan padat lalu lintas
a.   Parkir di luar (tidak dalam garasi) pada waktu malam hari
b.    Penggunaan sebagai taksi (komersil)
c.    Parkir dalam garasi tertutup

Tanggung gugat

a.       Penggunaan bahan-bahan kimia, minyak tanah atau bensin di tempat kerja.
b.      Kegiatan kerja yang menimbulkan banyak debu di tempat kerja.
c.       Upah karyawan/buruh yang terlalu rendah, atau kurangnya kesejahteraan dan keselamatan kerja..
d.      Penggunaan sistem pencegahan polusi di lingkungan ternpat kerja

Kondisi pada item (a), (b) dan (c) menunjukkan physical hazards yang bagus, sedangkan item (d) adalah physical hazard yang rendah

Hazard Moral (Moral Hazards)

Moral Hazards adalah hazards yang berkenaan dengan sikap dan tingkah laku orang-orang yang terkait dengan suatu risiko. Moral hazards ini sangat berpengaruh terhadap besarnya atau tingkat keparahan kerugian. Contoh dari moral hazards adalah seseorang mempertanggungkan rumah tinggalnya terhadap risiko kebakaran. Pada suatu hari rumah tersebut mengalami kebakaran. Sebenarnya kebakaran tersebut dapat dicegah seandainya ia berusaha melakukan pemadaman selagi api masih kecil. Namun hal itu tidak ia lakukan, sehingga api membesar dan memusnahkan rumahnya. Dalam contoh ini tampak sikap mental seseorang yang dapat memperbesar terjadinya kerugian.

Kadang-kadang Moral Hazards dapat timbul akibat hubungan yang buruk dari suatu menajemen perusahaan yang salah (Bad or Mismanagement), seperti misalnya upah pekerja yang rendah atau perlakuan yang tidak adil, dll. Hal-hal seperti ini akan mernicu timbulnya suatu peluang risiko kerusuhan/pemogokan yang lebih tinggi dari normalnya.

Selain itu juga dalam hubungannya dengan moral hazard yang ada, perlu juga dipertimbangkan faktor budaya dan kultur masyarakat (Social Culture), karena faktor tersebut cukup berpengaruh terhadap tingkat risiko dan kejadian klaim yang mungkin muncul. Misalnya dalam suatu kota yang mempunyai tingkat kemiskinan tinggi akan mengakibatkan meningkatnya tingkat kejahatan yang ada dalam masyarakat kota tersebut, sehingga dapat mempunyai hubungan dengan tingkat klaim terhadap risiko kehilangan atau kebongkaran.

Morale Hazards

Morale hazards adalah adanya peningkatan bahaya-bahaya kerugian karena risiko yang timbul dari sikap berbeda tertanggung yang disebabkan sudah adanya jaminan asuransi. Contoh adalah seseorang yang memiliki kendaraan dan telah ia asuransikan. Karena merasa mobilnya telah diasuransikan, maka ia seringkali bersikap kurang hati-hati, misalnya dalam memarkir kendaraan atau dalam mengendarainya dibandingkan dengan jika kendaraan tersebut tidak diasuransikan. Sikap yang demikian adalah berbahaya dan dapat memperbesar terjadinya bencana atau peril.

Perbedaan antara bahaya moral dan bahaya morale adalah bahaya moral timbul apabila tertanggung menciptakan kerugian untuk mendapatkan keuntungan, sedangkan bahaya morale timbul karena tertanggung tidak melindungi hartanya atau ia lalai karena merasa hartanya telah diasuransikan.

Legal Hazard

Seringkali berdasarkan peraturan atau perundang-undangan yang bertujuan melindungi masyarakat dalam kenyataan sehari-hari justru diabaikan atau tidak dihiraukan, sehingga memperbesar terjadinya peril atau bencana.
Sebagai contoh adalah asuransi kecelakaan kerja yang bersifat wajib diselenggarakan oleh pemberi kerja bagi kepentingan para pekerja. Kewajiban-kewajiban hukum lain seperti pengadaan fasilitas keselamatan kerja, aturan jam bekerja, dan lain-lain sering diabaikan oleh pihak pemberi kerja. Hal demikian disebut legal hazard karena dapat meningkatkan terjadinya peril atau bencana yang merugikan.

Pengertian Peril
Peril dapat didefinikan sebagai penyebab langsung terjadinya kerugian. Orang-orang dapat mengalami kerugian atau kerusakan karena terjadinya berbagai perils atau bencana. Bencana yang sering terjadi adalah kecelakaan, kebakaran, kecerobohan dan ketidak-jujuran. Bencana-bencana yang dapat menimpa harta-benda dan penghasilan seharusnya dicermati dan dipelajari oleh pengelola risiko sehingga perlindungan yang tepat dapat dilakukan untuk mengendalikannya.

Pengertian Kerugian
Dalam kamus bahasa Indonesia arti Kerugian adalah menanggung rugi atau menderita rugi. Misalnya dalam menanggung rugi atau menderita rugi dari musibah kebakaran, bencana alam, kecelakaan, dll.

Kamis, 02 April 2015

Keterkaitan KUHD dengan UU No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran dan PP No.20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan dalam Hukum Pengangkutan Laut



Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan terdapat keterkaitan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu mengenai:

     Berdasarkan pasal 1 angka 10 UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Angkutan adalah angkutan barang dari suatu tempat diterimanya barang tersebut ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang yang bersangkutan. Sedangkan Pengangkutan adalah kegiatan memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain dengan selamat sampai tujuan dan berdasarkan pasal 7 UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, jenis angkutan laut terdiri atas : Angkutan Laut Dalam Negeri, Angkutan Laut Luar Negeri, Angkutan Laut Khusus, dan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat, berhubungan dengan Pasal 453 (2) KUHD, Vervrachter mengikatkan diri kepada Bevrachter untuk:
-      Waktu tertentu,
-      Menyediakan sebuah kapal tertentu,
-      Kapalnya untuk pelayaran di laut bagi Bevrachter,
-         Pembayaran harga yang dihitung berdasarkan waktu.
dan Pasal 460 (1) KUHD menyebutkan bahwa kewajiban pencarter untuk memelihara, melengkapi dan menganakbuahi.
      
Dasar Hukum Pengaturan Pengangkutan Laut di Indonesia:
a.       Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
b.      Kitab Undang-Undang Hukum Dagang : pasal 307 s/d pasal 747,
c.       UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dan UU lain yang terkait,
d.   Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan
d.      Peraturan Internasional.

Dasar Hukum Pendaftaran Kapal:
a. Pasal 314 KUHD,
b. Peraturan Pendaftaran kapal Stbl. 1933 No.48,
c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
d. Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2002 tentang Perkapalan,
e. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.26 Tahun 2006 tentang Penyederhanaan Sistem dan Prosedur Pengadaan Kapal dan Penggunaan /Penggantian Bendera Kapal.
f.  Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS 1982) yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.

     Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Pasal 1, pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan diperairan, kepelabuhan, keselamatan dan keamanan serta perlindungan yang maritim. Sedangkan menurut pasal 309 KUHD buku kedua Hak-Hak Dan Kewajiban-Kewajiban Yang Timbul Dari Pelayaran, yaitu kapal adalah semua alat berlayar bagaimanapun namanya dan apapun sifatnya.

Pengaturan Layak Angkut Perairan
       
     Berdasarkan Pasal 343 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dimana menyatakan bahwa “Nakhoda diwajibkan mengikuti dengan teliti pearaturan-peraturan yang lazim dan peraturan-peraturan yang ada untuk menjamin kelayakan mengarungi laut dan keamanan kapal, keamanan para penumpang dan keamanan pengangkutan muatan. Ia tidak mengadakan perjalanan, kecuali apabila kapal memenuhi syarat untuk melakukan perjalanan, diperlengkapi dengan pantas dan cukup diawaki.
     
    ”Menurut Pasal 522 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menyatakan bahwa“ persetujuan pengangkutan mewajibkan si pengangkut untuk menjaga keselamatan si penumpang, sejak saat si penumpang ini masuk dalam kapal hingga saat ia meninggalkan kapalnya. Bagi sebuah kapal yang akan dioperasikan harus dalam keadaan layak laut kapal. Dikatakan layak laut kapal tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan antara lain, sertifikat kapal (masa berlaku) pengawakan kapalnya cukup, memiliki alat pencegah pencemaran, alat-alat keselamatan atau alat penolong yang cukup.
     
    Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa “ruang penumpang harus dipisahkan dengan sekat dari kamar awak kapal, ruang muatan dan ruang lainnya”.

      Pengaturan Tanggung Jawab Kapal Dengan memperhatikan ketentuan pasal 468 KUHD, maka tanggung jawab pengangkut adalah pada saat barang yang diterimanya dan berakhir pada saat penyerahan pada pihak yang berhak. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran didalam peraturan pelaksanaannya yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan Pasal 70 ayat (1) menyatakan bahwa “kapal sesuai dengan jenis, ukuran dan daerah pelayarannya harus memiliki alat penolong”. Sebuah kapal yang akan dioperasikan harus memenuhi persyaratan-persyaratan, yang diantaranya memiliki alat penolong yang cukup, salah satunya adalah pelampung. Hal ini sesuai amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang
Angkutan di Perairan, khusus mengenai alat penolong yang berupa pelampung, diatur kriteria atau persyaratan seperti yang diamanatkan oleh pasal 70 ayat (2) yang persyaratannya adalah:
1.      Dibuat dari bahan dan mutu yang memenuhi syarat,
2.      Mempunyai konstruksi dan daya apung yang baik, sesuai dengan kapasitas dan beban yang ditentukan,
3.      Diberi warna yang mencolok sehingga mudah dilihat,
4.      Telah lulus uji coba produksi dan uji coba pemakaian dalam pengoprasian dan diberi tanda legalitas,
5.      Dengan jelas dan tetap mencantumkan nama kapal dan/atau spesifikasi alat penolong, dan
6.      Ditempat pada tempat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Selasa, 17 Maret 2015

Tata Urutan Perundang-Undangan

Berdasarkan azas "lex superiori derogat legi inferiori" yang maknanya hukum yang unggul mengabaikan atau mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Maka diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan sesuai Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa "Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
 
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f.  Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota."

dan

Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan bahwa "Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan
sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
".

Azas-Azas Perundang-Undangan

Azas dalam Perundang-Undangan yaitu:

  1. Azas legalitas, berisikan "nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali", yang artinya tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali telah ada ketentuan atau undang-undangnya. Hal ini dapat dipahami bahwa segala perbuatan pelanggaran atau kejahatan apapun tidak dapat dipidana atau diberi hukuman bila tidak ada undang-undang yang mengaturnya.
  2. "Lex specialis derogat legi generali", artinya hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum. Atau segala undang-undang ataupun peraturan yang khusus mengabaikan atau mengesampingkan undang-undang yang umum. Contoh : Apabila terdapat kekerasan dalam rumah tangga, maka pelaku dapat dikenai UU KDRT, bukan KUHPidana. Pemakaian hukum yang khusus ini antara lain karena hukumannya yang lebih berat dibandingkan dengan KUHPidana.
  3. "Lex posteriori derogat legi priori", artinya hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama. Maksudnya ialah, UU yang baru mengabakan atau mengesampingkan UU yang lama dalam hal yang sama. Dengan kata lain UU yang baru ini dibuat untuk melengkapi dan menyempurnakan serta mengoreksi UU yang lama. Sehingga UU yang lama sudah tidak berlaku lagi.
  4. "Lex superior derogat legi inferiori", artinya hukum yang urutan atau tingkatnya lebih tinggi mengesampingkan atau mengabaikan hukum yang lebih rendah. Bila terdapat kasus yang sama, akan tetapi ketentuan undang-undangnya berbeda, maka ketentuan undang-undang yang dipakai adalah UU yang tingkatnya lebih tinggi. Contoh : UU lebih tinggi dari PP, maka PP diabaikan dan harus berpatokan pada UU.

Rabu, 11 Maret 2015

Pentingnya Sishankamrata dan PJSN'45



Merdeka adalah harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar lagi, kita perjuangkan, kita raih, kita pertahankan dan kita jaga, lebih baik mati berkalang tanah daripada harus dijajah!!!

 

SISHANKAMRATA


KEAMANAN NASIONAL
Keamanan Nasional (National Security) merujuk pada kebutuhan untuk memelihara dan mempertahankan eksistensi negara melalui kekuatan ekonomi, militer dan politik serta pengembangan diplomasi. Secara konvensional, tafsir konsep Keamanan Nasional menekankan kepada kemampuan pemerintah dalam melindungi integritas teritorial negara dari ancaman yang datang dari luar dan dari dalam negara tersebut.
Beberapa langkah yang penting untuk memastikan keamanan nasional :
  • Penggunaan diplomasi untuk menggalang sekutu dan mengisolasi ancaman.
  • Penataan Angkatan Bersenjata yang efektif.
  • Implementasi konsep pertahanan yang bersifat sipil dan kesiagaan dalam menghadapi situasi darurat, termasuk terorisme.
  • Memastikan daya dukung dan ketersediaan infrastrukturdalam negeri yang penting.
  • Penggunaan kekuatan intelijen untuk mendeteksi danmengalahkan atau menghindari berbagai ancaman dan spionase, serta melindungi informasi rahasia.
  • Penggunaan kekuatan kontra-intelijen untuk Melindungi negara.

* Pasal 30 UUD 1945 :

Hancurkan musuh didaerah / negara lawan termasuk kemauan dan keinginannya.
Hancurkan musuh diperjalanan baik diudara, darat, ataupun di laut.
Hancurkan musuh diperbatasan agar tidak masuk wilayah Indonesia.
Hancurkan musuh dipantai atau dibandara, ketika pesawat / kapal laut mendarat.
Hancurkan musuh bila berhasil mnduduki daratan Indonesia.
Rencanakan Serbal (Seranagn Balas)
Indonesia sendiri, menganut Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (sishankamrata), yaitu sistem pertahanan keamanan yang melibatkan partisipasi rakyat serta mengintegrasikan segenap potensi dan kekuatan politik, ekonomi, sosial budaya, dan militer. Pelaksanaan sishankamrata didasarkan pada kesadaran, tanggung jawab akan hak dan kewajiban setiap warga Negara Indenesia berdasarkan keyakinan akan kekuatan sendiri dan sikap pantang menyerah.
Sistem Sishankamrata yang tertera dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1982 yaitu Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia.

PENGERTIAN SISHNAKAMRATA
Ada 3 pengertian sishankamrata, yaitu :
  1. Hankam yang bersifat semesta dimana digunakan seluruh kekuatan nasional secara total, integral, dengan mengutamakan kekuatan militer dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI.
  2. Keikut sertaan seluruh rakyat dalam usaha-usaha hankamnas melalui bidang profesi masing-masing.
  3. Suatu sistem hankam dengan komponen-komponen yang terdiri dari seluruh potensi, kemampuan dan kekuatan nasional dan bekerja secara total,integral, serta berlanjut dalam rangka mencapai ketahanan nasional.

LANDASAN SISHANKAMRATA
Dalam pelaksanaannya di Republik Indonesia sishankamrata didasari oleh,
1.      Undang-undang Dasar Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
2.      Di dalam Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”.

 

Pengertian Bela Negara, 5 Unsur Bela Negara, Pengertian Sishankamrata, Sifat-Sifat Sishankamrata

Pendidikan pendahuluan bela Negara (PPBN)
Dalam menyelenggarakan Hankamnas, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dan dijamin oleh UUD 1945 dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam pengabdiaannya kepada bangsa dannegara.

Salah satu bentuk keikutsertaan rakyat dalam upaya Hankamneg diselenggarakan melalui Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) sebagai bagian tidak terpisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional. Dengan Pendidikan Pendaluan Bela Negara yang dilaksanakan melalui pendidikan disekolah maupun pendidikan diluar sekolah akan dihasilkan warga negara yang cinta tanah air, rela berkorban bagi negara dan bangsa, yakin akan kesaktian Pancasila dan UUD 1945 serta mempunyai kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang bertanggung jawab. PPBN merupakan proses menuju kepada kualitas manusia yang lebih baik, yakni manusia yang mampu menghadapi tantangan-tantangan dimasa depan yang dapat menjamin tetap tegaknya identitas dan integritas bangsa dan negara Republik Indonesia.

5 unsur PPBN
1.            Kecintaan kepada tanah air.
2.            Kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia.
3.            Keyakinan akan kesaktian Pancasila.
4.            Rela Berkorban untuk negara
5.            Memberikan kemampuan awal bela Negara

Pendidikan pendahuluan bela negara diselenggarakan guna memasyarakatkan upaya bela negara serta menegakan hak dan kewajiban warga negara dalam upaya bela negara.PPBN sebagaimana dimaksudkan diatas wajib diikuti warga negara dan dilaksanakan secara bertahap yaitu :

1.  Tahap awal pada pendidikan tingkat dasar sampai dengan menengah dan pendidikan luar sekolah termasuk kepramukaan.
2.      Tahap lanjutan dalam bentuk pendidikan kewiraan pada tingkat pendidikan tinggi.

Sistem Pertahanan Semesta (SISHANKAMRATA)

Dalam sisitem pertahanan keamanan suatu negara kita mengenal 3 macam rumusan yaiu :

Meniru sistem pertahanan bangsa dan negara lain, ini terjadi pada negara yang kemerdekaannya diperoleh dari pemberiaan negara yang pernah menguasainya, sehingga kurang mencerminkan falsafah, identitas, dan kondisi lingkungan dari bangsa dan negara tersebut.
Pemilihan / penemuan secara kebetulan, ini terjadi kemungkinan mempunyai daya tanggap terhadap setiap kondisi yang mengancam keselamatan dan kelamgsungan hidup bangsa dan negaranya. Budi daya bangsa dan negara berdasarkan falsafah, identitas, kondisi lingkungan dan kemungkinan datangnya ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan), baik yang datang dari dalam maupun luar yang mengancam keselamatan dan kelangsungan hidupnya.
Bagi bangsa indonesia berdasarkan dengan pengalaman sejarah terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia menganut rumusan ketiga yaitu sistem pertahannan keamanan rakyat SEMESTA (SISHANKAMRATA).

Berdasarkan UU NO.20 tahun 1982 tentang. Ketentuan – ketentuan pokok pertahanan keamanan negara Indonesia, Sishankanrata merupakan tatanan segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara yang terdiri atas :
1.      komponen dasar rakyat terlatih.
2.      komponen utama ABRI beserta cadangan TNI.
3.      komponen kusus perlindungan masyarakat, dan
4.      komponen pendukung yaitu :
sumberdaya alam
sumberdaya buatan
sarana dan prasarana nasional secara menyeluruh, terpadu dan terarah.

Sifat2 SISHANAKMRATA
1.            Kerakyatan, yaitu keikutsertaan seluruh warga negara Indonesia sesuai dengan kemampuan dan keahliannya.
2.            Kesemestaan, yaitu seluruh daya bangsa dan negara mampu memobilitaskan diri untuk menanggulangi setiap ATHG.
3.            Kewilayahan, yaitu seluruh / setiap titik dalam wilayah RI merupakan tumpuan perlawanan secara berlanjut.

* UU NO.3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
- TNI dan Polri sebagai kekuatan utama.
- Rakyat sebagai kekuatan pendukung.

* DOKTRIN TNI :
1. Tentara pejuang.
2. Tentara rakyat
3. Tentara nasional
4. Tentara Profesional

* Pasal 30 UUD 1945 :

Hancurkan musuh didaerah / negara lawan termasuk kemauan dan keinginannya
Hancurkan musuh diperjalanan baik diudara, darat, ataupun di laut.
Hancurkan musuh diperbatasan agar tidak masuk wilayah Indonesia.
Hancurkan musuh dipantai atau dibandara, ketika pesawat / kapal laut mendarat.
Hancurkan musuh bila berhasil mnduduki daratan Indonesia.
Rencanakan Serbal (Seranagn Balas)

Pertahanan dan Keamanan
 
PASAL 30 UUD 1945 :

       Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh tentara nasional Indonesia dan Keamanan rakyat semesta oleh tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
Tentara Nasional Indonesia terdiri atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan rakyat. Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
       
     Pendidikan pendahuluan bela negara (ppbn) tidak saja ditujukan utk menghasilkan kualitas manusia indonesia yg dpt mengembangkan kemampuan dan kesediaan untuk mempertahankan dan membela bangsa,negara, dan tanah air, akan tetapi juga memberikan bekal sebagai warga negara indonesia yg baik, terutama dlm :
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan bangsa dan negara,
membangkitkan motifasi dan dedikasi berupa rasa turut memiliki,rasa ikut bertanggung jawab, turut berpartisipasi dalam pembangunan nasional guna mewujudkan suatu masyarakat yg tata tentrem kerta raharja.
         
        Pedidikan pendahuluan belanegara (ppbn) diharapkan dpt mewujudkan tujuan nasional, yaitu :
melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia. Memajukan kesejahteraan umum.
Mencerdaskan kehidupan bangsa,
ikut melaksanakan ketertiban dunia yg berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi,dan keadilan sosial.

        Hasil yg akan dicapai ppbn ialah lahirnya sifat militansi sbg manifestasi dari adanya kesadaran, jiwa dan semangat belanegara yg merupakan akumulasi dari disiplin dan jiwa atau semangat utk rela berkorban yg dipupuk dg seksama sejak usia dini dan berakar pada cinta tanah air,kesadaran berbangsa dan bernegara, keyakinan akan kesaktian pancasila sebagai ideologi negara, *militansi* yag identik dengan jiwa dan semangat pelopor diperlukan utk menghadapi ancaman,tantangan,hambatan,gangguan (athg) yang harus diatasi, sehingga bila saatnya tiba maka militansi akan menghasilkan patriot-patriot kebangsaan.

Tujuan pendidikan di perguruan tinggi adalah :
1.      Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yg memiliki kemampuan akademik dan atau profesional yg dpt menerapkan, mengembangkan dan atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian.
2.     Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian serta mengupayakan penggunaannya utk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.

PERAN MAHASISWA DALAM MEWUJUDKAN PERTAHANAN NASIONAL

          Mahasiswa pada dasarnya tidak mempunyai sangkut paut dalam urusan ketahanan militer. Mereka berperan dalam mempertahankan NKRI dalam bentuk aksi solidaritas ataupun sosial. Mereka memberikan kontribusi yang berbeda dan sangat bertolak belakang dengan cara militer. Kalau kita hanya melihat dari satu sisi, ketahanan militer ini mungin hanya eksklusif dimiliki oleh lembaga-lembaga militer (dalam hal ini TNI) tapi, ini bukan berarti mahasiswa tidak bisa ikut andil dalam ketahanan militer.
        
          Ada sebuah pertanyaan yang mencuat. Apakah perlu seorang mahasiswa bergabung dalam Menwa untuk bisa ikut andil dalam urusan ketahanan militer? Apalagi tugas utama seorang mahasiswa bukan lah itu. Mungkin jawabannya relatif oleh masing-masing individu, tapi mahasiswa yang berjiwa nasionalis tentu merasa terpanggil untuk bisa berbakti kepada negara, tanpa harus memasuki organisasi apapun.
Intinya adalah, seorang mahasiswa tidak perlu terjun secara langsung sebagai unsur yang ikut andil dalam ketahanan militer. Mereka cukup menjadi aktor dibelakang layar melalui tulisan serta gagasan.

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MEWUJUDAKAN PERTAHANAN NASIONAL

a. Doktrin dan Strategi Pertahanan.

          Doktrin Pertahanan dan Strategi Pertahanan disusun untuk mensinergikan kinerja komponen Militer dan Nir Militer dalam rangka menjaga, melindungi dan memelihara kepentingan nasional Indonesia. Doktrin pertahanan merupakan keterpaduan komponen militer dan Nir Militer bersifat Dwiwarna Nusantara. Doktrin Militer bersifat Trimatra Nusantara (AD, AL, AU) sedangkan Doktrin Nir Militer bersifat Dwidarma Nusantara dari komponen cadangan dan komponen pendukung. Berdasarkan faktor- faktor yang mempengaruhi ditingkat global, regional, dan nasional disusun strategi pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia berupa strategi Penangkalan yaitu:
  1. Pertahanan multilapis dengan pusat gravitasi dukungan rakyat atas peran TNI sebagai kekuatan utama yang menentukan di darat, di laut dan di udara.
  2. Merupakan pertahanan total secara terpadu antara komponen Militer dan Nir Militer untuk menghadapi setiap bentuk ancaman.
  3. Di tingkat nasional berupa jaringan terpadu Ketahanan Nasional di daerah termasuk di wilayah perbatasan dan daerah terpencil didasari semangat bela negara.
  4. Di tingkat regional berupa jaringan kerjasama antara negara-negara Association of South East Asia Nations (ASEAN) dengan menggunakan komponen Militer dan Nir-Militer (ekonomi, budaya, identitas) secara terpadu dalam rangka menjaga, melindungi dan memelihara kepentingan Nasional Indonesia.
b. Kebijakan Pembangunan Kekuatan Pertahanan.

        Pembangunan kekuatan Pertahanan mencakup pembangunan kemampuan nasional di bidang pertahanan pada tingkat Kebijakan maupun tingkat Operasional. Pada tingkat Kebijakan berupa peningkatan kemampuan birokrasi pemerintah (Departemen Pertahanan dan Departemen/Instansi lain yang terkait) dalam merumuskan keputusan politik yang terkait dengan pengelolaan Pertahanan Negara. Sedangkan pada tingkat Operasional berupa pembangunan kekuatan Komponen Pertahanan, yang terdiri dari Komponen Utama/Tentara Nasional Indonesia (TNI), Komponen Cadangan, dan Komponen Pendukung.

       Pembangunan Komponen Pertahanan diprioritaskan pada pembangunan Komponen Utama, sedangkan penyiapan Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung dilaksanakan secara bertahap sesuai kemampuan sumber daya yang tersedia. Pelaksanaannya memanfaatkan sebesar-besarnya kemampuan sumber daya nasional secara terpadu sebagai salah satu wujud Sishankamrata. Untuk itu perlu segera dilakukan langkah-langkah untuk mempercepat terwujudnya kemandirian Industri Pertahanan.

   Pembangunan Komponen Utama didasarkan pada konsep Pertahanan Berbasis Kemampuan (Capability-based defence) tanpa mengesampingkan kemungkinan ancaman yang dihadapi serta tahap mempertimbangkan kecenderungan perkembangan lingkungan strategik. Pelaksanaannya diarahkan kepada tercapainya kekuatan pokok minimum (Minimum Essential Force), yakni tingkat kekuatan yang mampu menjamin kepentingan strategis pertahanan yang mendesak, Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) dan peralatan lain diprioritaskan untuk menambah kekuatan pokok minimal dan/atau mengganti Alutsista/alat peralatan yang sudah tidak layak pakai. Penambahan kekuatan dilaksanakan hanya atas kebutuhan yang mendesak dan benar-benar diperlukan. Mengingat keterbatasan kemampuan anggaran pemerintah serta tantangan yang dihadapi, maka secara tri-matra terpadu pembangunan TNI Angkatan Darat diarahkan pada tercapainya pemantapan kekuatan, sedangkan TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara diarahkan pada modernisasi dan pengembangan. Pembangunan komponen cadangan memerlukan dukungan dana yang besar serta infrastruktur yang memadai. Disamping itu juga diperlukan landasan hukum yang jelas, karena menyangkut hak dan kewajiban seluruh warganegara dalam upaya pertahanan. Oleh karenanya pembangunan komponen cadangan dilaksanakan secara bertahap sesuai kemampuan sumber daya yang tersedia, dengan terlebih dahulu menyusun Undang-Undang Komponen Cadangan sebagai landasan hukum pembentukan dan penggunaannya. Sedangkan pembangunan Komponen Pendukung adalah pembangunan setiap aspek kehidupan nasional yang dilaksanakan oleh departemen/instansi masing-masing yang hasilnya diarahkan untuk kepentingan pertahanan.

c. Kebijakan Pengerahan dan Penggunaan Kekuatan Pertahanan.

       Pengerahan dan penggunaan kekuatan pertahanan didasarkan pada doktrin dan strategi Sishankamrata yang dilaksanakan berdasarkan pertimbangan ancaman yang dihadapi Indonesia. Agar pengerahan dan penggunaan kekuatan pertahanan dapat terlaksana secara efektif dan efisien, diupayakan keterpaduan yang sinergis antara unsur militer dengan unsur militer lainnya, maupun antara kekuatan militer dengan kekuatan nir militer. Keterpaduan antara unsur militer diwujudkan dalam keterpaduan Tri-Matra, yakni keterpaduan antar kekuatan darat, kekuatan laut, dan kekuatan udara. Sedangkan keterpaduan antara kekuatan militer dan kekuatan nir militer diwujudkan dalam keterpaduan antar komponen utama, komponen cadangan, dan komponen pendukung. Keterpaduan tersebut diperlukan dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan pertahanan, baik dalam rangka menghadapi ancaman tradisional maupun ancaman non-tradisional.

       Berdasarkan analisa lingkungan strategik, maka ancaman militer dari negara lain (ancaman tradisional) yang berupa invasi, adalah kecil kemungkinannya. Namun demikian, kemungkinan ancaman tersebut tidak dapat diabaikan dan harus tetap dipertimbangkan. Ancaman tradisional yang lebih mungkin adalah konflik terbatas yang berkaitan dengan pelanggaran wilayah dan atau menyangkut masalah perbatasan. Komponen Utama disiapkan untuk melaksanakan Operasi Militer untuk Perang (OMP). Penggunaan komponen cadangan dilaksanakan sebagai pengganda kekuatan komponen utama bila diperlukan, melalui proses mobilisasi/demobilisasi. Kendatipun kekuatan pertahanan siap dikerahkan untuk melaksanakan OMP, namun setiap bentuk perselisihan dengan negara lain selalu diupayakan penyelesaiannya melalui jalan damai. Penggunaan kekuatan pertahanan untuk tujuan perang hanya dilaksanakan sebagai jalan terakhir apabila cara-cara damai tidak berhasil.

      Ancaman non-tradisional adalah ancaman yang dilakukan oleh aktor nonnegara terhadap keutuhan wilayah, kedaulatan negara, dan keselamatan bangsa Indonesia. Ancaman non-tradisiona l merupakan ancaman faktual yang saat ini dihadapi oleh Indonesia. Termasuk didalam ancaman ini adalah gerakan separatis bersenjata, terorisme internasional maupun domestik, aksi radikal, pencurian sumber daya alam, penyelundupan, kejahatan lintas negara, dan berbagai bentuk aksi ilegal lain yang berskala besar. Oleh karenanya kekuatan pertahanan, terutama TNI, juga disiapkan untuk melaksanakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) guna menghadapi ancaman non-tradisional. Pengerahan kekuatan TNI untuk OMSP dilaksanakan berdasarkan keputusan politik pemerintah.

      Struktur organisasi TNI dirancang sebagai organisasi yang kokoh, memiliki mobilitas tinggi, serta memiliki kemampuan personil dan peralatan lengkap untuk mengatasi kondisi darurat. Dengan karakteristik seperti itu, maka TNI disiapkan untuk mampu membantu tugas-tugas negara untuk melaksanakan tindakan tanggap darurat dalam menghadapi akibat bencana alam. Disamping itu, TNI juga dapat dikerahkan untuk membantu pelaksanaan tugas-tugas negara lainnya, seperti mengatasi wabah penyakit, mengatasi huru-hara, menjaga ketertiban masyarakat, dan sebagainya. Tugas-tugas tersebut adalah bagian dari OMSP.

d. Kebijakan Penganggaran.

        Keterbatasan kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran pertahanan merupakan hambatan yang sangat signifikan bagi upaya pembangunan kekuatan maupun pengerahan dan penggunaan kekuatan pertahanan. Padahal, penentuan alokasi anggaran tidak cukup hanya berdasarkan kondisi ekonomi nasional, tetapi juga harus didasarkan pada rasio kebutuhan pertahanan yang mampu menjamin stabilitas keamanan. Oleh karenanya pengalokasian anggaran dilaksanakan berdasarkan skala prioritas secara ketat. Ke depan, diharapkan alokasi anggaran pertahanan dapat ditingkatkan secara bertahap, sekurang-kurangnya sampai dapat tercapai kekuatan pertahanan pada tingkat kekuatan pokok minimum.

e. Kebijakan Kerjasama Internasional.

         Kerjasama internasional dibidang pertahanan merupakan bagian dari kebijakan politik luar negeri, sehingga tidak akan mengarah atau suatu Pakta Pertahanan. Kerjasama internasional dibidang pertahanan dilaksanakan baik dalam rangka pembangunan kekuatan maupun pengerahan dan penggunaan kekuatan. Kendatipun demikian untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kekuatan, penggunaan produk dalam negeri merupakan prioritas. Sedangkan pengerahan dan penggunaan kekuatan dalam kerjasama internasional dilaksanakan sebagai bagian dari upaya membangun kepercayaan serta diplomasi, dan untuk memecahkan masalah keamanan yang perlu untuk ditangani secara bersama. Dalam rangka ikut serta secara aktif mewujudkan perdamaian dunia, pengiriman pasukan perdamaian dilaksanakan hanya atas permintaan dan mandat dari Persatuan Bangsa-Bangsa.

f. Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Nasional.

        Dalam rangka pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan Pertahanan Negara, Departemen Pertahanan berperan sebagai penjuru melibatkan departemen/instansi lain terkait sesuai bidang tugas masing- masing. Dalam kaitan itu setiap departemen/instansi wajib mempunyai program untuk menjaga dan menciptakan kondisi ketahanan nasional dalam rangka pertahanan negara. Kerjasama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi antara Departemen Pertahanan dengan lembaga-lembaga lain dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia dibidang pertahanan, mendorong terwujudnya kemandirian industri pertahanan, serta memberi ruang bagi sektor lain untuk berperanserta dalam pengelolaan pertahanan negara.

g. Kebijakan Pengembangan Postur Pertahanan.

        Pengembangan postur pertahanan dilatarbelakangi kondisi lingkungan strategis dan kemampuan dukungan anggaran pertahanan, serta kebutuhan mendesak untuk menghadapi ancaman keamanan nasional. Untuk mewujudkan postur pertahanan yang memiliki kapabilitas memadai, diperlukan adanya skala prioritas pada rencana pengembangan yang mencakup Pengembangan Alat Utama Sistem Senjata, Penataan Ruang Kawasan Pertahanan, Pembangunan Pertahanan Sipil, dan Penataan Struktur Organisasi.

h. Kebijakan Pengawasan.

       Guna menjamin akuntabilitas pelaksanaan fungsi pertahanan, diperlukan pengawasan eksekutif maupun legislatif terhadap penyelenggaraan pertahanan negara.
  
PENGHAYATAN JIWA SEMANGAT dan NILAI-NILAI’45
  
      Jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan 45 adalah dasar, kekuatan, daya dorong dan moral perjuangan bangsa, yang merupakan suatu kekuatan moral berupa kondisi mental dengan suatu kepahaman yang menyatu sebagai kekuatan yang mampu mengubah suatu keadaan. Kejuangan 45 memotivasi kejuangan bangsa, lahir sebagai hasil proses perkembangan sejarah bangsa yang secara terus-menerus menjiwai kesinambungan perjuangan dan pembangunan bangsa Indonesia. Jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan bangsa akan tetap hidup sebagai nafas perjuangan dan merupakan pertanggung jawaban bangsa terhadap kelangsungan hidup dan pemenuhan cia-cita kemerdekaan bangsa.

       Saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami keterpurukan akibat krisis multidimensi. Bagaimana kita dapat menemukan kembali rasa, paham, dan semangat kebangsaan untuk dapat menyikapi persoalan kebangsaan yang ada? Uraian berikut ini mencoba mengangkat dan memberi solusi wacana kebangsaan kita.

         Dinamika Jiwa, Semangat, dan Nilai-nilai Kejuangan Bangsa dari Masa ke Masa
Masa sebelum pergerakan nasional diwarnai dengan kejayaan kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara, masuknya berbagai agama, dan disusul kedatangan bangsa-bangsa Barat. Terjadi pertemuan dan percampuran budaya di antara para pedagang asing dengan penduduk Nusantara, dan ini menjadi awal mula adanya semangat kebangsaan yang tumbuh dari kesadaran akan harga diri, ketakwaan pada Tuhan, kerukunan hidup antar-umat beragama, kepeloporan, dan keberanian.

        Kedatangan bangsa asing yang semula hanya berdagang rempah-rempah, berubah menjadi niatan untuk menguasai Nusantara. Timbullah perlawanan-perlawanan yang bersifat sporadis, sehingga mudah dipatahkan dengan politik devide et impera, dan penjajahan pun semakin mencengkeramkan kekuasaannya di Nusantara. Perlawanan yang tercerai-berai itu kemudian membangunkan jiwa merdeka, rasa harga diri yang tidak mau dijajah, semangat untuk merebut kembali kedaulatan dan kehormatan bangsa. Masa yang disebut 'Pergerakan Nasional' ini ditandai proses keruntuhan kerajaan-kerajaan di Nusantara dan perlawanan bersenjata oleh kerajaan-kerajaan itu.

       Memasuki abad ke-20, perlawanan bersenjata beralih ke perjuangan di bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya; tahapan ini dikenal sebagai 'Kebangkitan Nasional' yang ditandai maraknya organisasi pemuda dan partai-partai yang melawan penjajah lewat upaya mencerdaskan bangsa serta menanamkan tekad, solidaritas, harga diri, kebersamaan menuju persatuan dan kesatuan.

      Sumpah Pemuda diikrarkan pada tahun 1928 sebagai kebulatan tekad mempersatukan bangsa yang menjurus ke kemerdekaan dan kedaulatan: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa Indonesia. Pada masa ini rasa kebangsaan mencuat karena dorongan semangat kejuangan untuk merdeka. Berbahagialah bangsa Indonesia, karena sejak itu telah mempunyai bendera kebangsaan Sang Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan bahasa persatuan Bahasa Indonesia, jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan. Semua itu menjadi perekat persatuan dan rasa kebangsaan yang tinggi.

     Dalam tahun 1942-1945, semasa berkecamuknya Perang Dunia II, Jepang menjajah Indonesia. Penjajahan Jepang ini mempunyai dua sisi yang bertolak belakang; di satu sisi mengakibatkan penderitaan, namun di sisi lain memberi peluang bagi rakyat dan pemuda memasuki berbagai organisasi militer yang dimanfaatkan sebagai sarana menyusun kekuatan melalui prajurit sukarela Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Jiwa, semangat merdeka, kesadaran berbangsa dan kebangsaan, kesadaran persatuan dan kesatuan perjuangan, kesadaran anti-penjajahan, nasionalisme, dan patriotisme semakin digelorakan.

       Melengkapi perjuangan bersenjata, maka Ir.Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengutarakan pokok-pokok pikirannya tentang dasar falsafah bangsa dan negara, yang dinamakan Pancasila, yang sebelumnya didahului pandangan-pandangan para tokoh pendiri negara lainnya. Dapat disimpulkan, periode perjuangan antara kebangkitan nasional dengan akhir pendudukan Jepang merupakan masa persiapan kemerdekaan.

     Titik kulminasi perjuangan kemerdekaan bangsa tercapai dengan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Lalu, pada 18 Agustus 1945 disahkan Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan negara, serta Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara. Berkibarnya sang Merah Putih, bergemanya lagu Indonesia Raya di seluruh pelosok tanah air, menandai kemerdekaan bangsa dan kedaulatan rakyat.

     Namun, lahirnya negara Republik Indonesia menimbulkan reaksi dari Belanda yang ingin menjajah kembali. Maka mulailah perjuangan yang dahsyat di segala bidang, terutama perjuangan bersenjata, perjuangan politik, dan diplomasi. Dalam periode ini jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan yang timbul dan berkembang pada masa-masa sebelumnya, menjadi bekal, landasan, dan daya dorong mental spiritual yang tangguh dalam perjuangan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan.

       Perjuangan bersenjata maupun perjuangan politik dan diplomasi melahirkan nilai-nilai yang memperkuat jiwa, semangat, dan nilai-nilai yang telah tumbuh sebelumnya, seperti rasa harga diri sebagai bangsa yang merdeka, percaya pada diri dan kemampuan sendiri, percaya pada hari depan yang gemilang, idealisme kejuangan yang tinggi, semangat berkorban untuk tanah air, bangsa dan negara; "sepi ing pamrih rame ing gawe", nasionalisme, patriotisme, jiwa kepahlawanan, rasa setia kawan, senasib dan sepenanggungan, rasa kekeluargaan dan kegotongroyongan, semangat tak kenal menyerah dan pantang mundur. Jiwa merdeka menjadi semangat merdeka yang semakin menggelora dan merupakan motivasi perjuangan yang kuat.

       Pada masa perjuangan mengisi kemerdekaan dengan pembangunan, maka jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan yang merupakan landasan dan daya dorong mental-spiritual yang kuat dalam menghadapi segala ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan terhadap perjuangan, diharapkan menjadi pegangan segenap warga bangsa, sebagai nilai-nilai kejuangan yang lestari dan membudaya.

    Sejarah perjuangan mengisi kemerdekaan sejak masa Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri, senantiasa penuh dengan gejolak dan dinamika politik yang menunjukkan pasang-surutnya komitmen terhadap perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan. Jatuhnya setiap pemerintahan selama ini, adalah karena tidak berpegang teguh pada komitmen kebangsaan, dan pada jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan 45.

      Pada era Presiden Soekarno (Orde Lama), rasa kebangsaan mulai pudar karena tantangan nasional melawan penjajah sudah usai, dan tantangan beralih timbul menghadapi pamrih pribadi, hati nurani pribadi. Terjadilah perpecahan yang akumulatif dalam tubuh bangsa, yang berpuncak pada terjadinya G-30-S/PKI 1965. Pada era Presiden Soeharto (Orde Baru), upaya stabilitas berhasil dilakukan, namun berkembang ke arah keserakahan di bidang politik dan ekonomi. Keadaan ini menyebabkan pudarnya rasa kebangsaan dan maraknya rasa ketidakadilan. Rasa kebangsaan semakin tipis pada era Presiden Abdurrahman Wahid, Habibie, dan Megawati (era reformasi), sehingga merosotlah pola sikap kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara, bahkan keyakinan terhadap Pancasila.

Tantangan-tantangan Mendasar

     Perkembangan dunia di awal abad ke-21 belum memberi harapan yang lebih cerah dan pasti bagi kehidupan masa depan masyarakat dunia, lebih-lebih bagi bangsa Indonesia. Globalisasi cenderung hanya menguntungkan dan memperkuat negara maju.

     Pemulihan krisis multidimensi Indonesia belum menunjukkan titik terang, karena stabilitas politik dan ekonomi global pun masih terganggu dan terancam goncang, sementara kondisi internal belum stabil. Suasana penuh damai, tenteram, bebas dari konflik atau ketegangan, masih jauh dari harapan, bahkan perpecahan masih mengancam. Kecenderungan pada tataran nasional yang tampak adalah potensi disintegrasi bangsa akibat gerakan separatisme, konflik-konflik komunal dan sosial dalam masyarakat, serta pertentangan ideologis akibat implementasi Pancasila yang kurang serasi, sehingga pemulihan ekonomi serta dinamika proses reformasi politik dan stabilitas politik pun sulit diwujudkan.

      Reformasi politik yang bergulir sejak 1998 merupakan suatu kebutuhan bangsa Indonesia dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang demokratis, bersih dan berwibawa. Namun dalam perkembangannya banyak dipengaruhi kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, golongan, maupun kepentingan politik luar negeri, sehingga kepentingan nasional terpinggirkan. Kenyataan ini diperparah oleh konflik vertikal gerakan separatis, penonjolan primordialisme, etnisitas yang sempit dalam fenomena tribalisme, yang semuanya mengancam ketahanan bangsa. Sementara oportunisme para politisi, provokasi, terorisme, penyakit masyarakat (narkoba, pornografi, kenakalan remaja) pun membuat masalah makin kompleks. Jika semuanya dibiarkan belarut-larut akan melemahkan dan melunturkan semangat persatuan-kesatuan, semangat kebangsaan, yang pada gilirannya dapat merontokkan ketahanan bangsa, bahkan berpotensi mencerai-beraikan keutuhan NKRI.

       Reformasi sebagai suatu gerakan politik ternyata tidak mempunyai desain strategi yang jelas, baik tujuan, arah, maupun asas perjuangannya, sehinga mudah ditafsirkan sesuai kepentingan masing-masing golongan. Gerakan reformasi juga tak memiliki pemimpin yang bersifat sentral dan berwibawa, yang dapat mengilhami, menjadi panutan, dan membimbing kearah tujuan dan asas-asas yang jelas bersumber pada dasar negara. Kondisi ini menciptakan kerancuan yang luas dan mendasar; masa demonstran yang secara sporadis muncul di jalanan, pun umumnya tidak mengikatkan diri pada Pancasila dan UUD 1945.

      Kebijakan yang kurang menguntungkan dalam upaya stabilitas negara dan sifatnya sangat mendasar adalah amandemen UUD 1945. Kebijakan ini sepengetahuan penulis tidak pernah disuarakan partai-partai pada masa pemilu sebelumnya, sehingga dapat dikatakan menyalahi kedaulatan rakyat. Pertanyaannya, benarkah untuk mengatasi krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia harus mengamandemen konstitusi? Harus diingat, UUD 1945 adalah dasar pijak bersatunya bangsa dalam NKRI.

      Pada kenyataannya, amandemen itu justru mengubah UUD 1945; falsafah dasar negara bukan lagi Pancasila, melainkan hak-hak asasi manusia; prinsip ekonomi kekeluargaan pun diganti dengan ekonomi kapitalis, dan kelak tugas negara hanya terbatas menjaga ketertiban dan keamanan saja. Tak berlebihan jika dikatakan, campur tangan asing dalam amandemen UUD 1045 itu sangat kental terasa untuk membawa bangsa negara kita dalam pengaruh kekuasaan asing.

        Dalam hal penyelenggaraan kedaulatan rakyat, setidaknya ada dua hal yang secara khusus patut dicatat, baik pada amandemen I, II, III maupun IV. Pertama, secara jelas amandemen itu mengubah pelaksanaan kedaulatan rakyat yang didasarkan pada asas integrasi, kebangsaan, kekeluargaan, kebersamaan, dan gotong royong, menjadi kedaulatan yang didasarkan pada paham individualisme dan liberalisme (pasal 1 ayat (2) hasil perubahan UUD 1945). Kedua, setelah amandemen, MPR RI hampir tidak ada lagi tugas rutinnya. MPR RI bukan lagi merupakan pelaksana kedaulatan rakyat sepenuhnya, tidak lagi menyusun GBHN sebagai arah pembangunan lima tahun yang berkelanjutan, yang pelaksanaannya dimandatkan kepada presiden dan sebagai arahan bagi seluruh komponen masyarakat bangsa.

      Kedua hal di atas bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 yang antara lain menyebutkan "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". (Hal-hal lain dapat diperiksa pada Telaahan singkat terhadap Amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945.


Dalam bidang pemerintahan pun ada hal-hal yang patut disorot.

Pertama, hubungan antara eksekutif dan legislatif terasa kurang serasi (heavy legislative). Belakangan ini bahkan berkembang kecenderungan yang mengarah ke anarkhi dengan memberikan wewenang pada DPR RI untuk menyandera pejabat negara, pejabat pemerintah, dan warga masyarakat yang tidak memenuhi panggilan dewan (RUU tentang Susunan Kedudukan anggota MPR-DPR pasal 30 ayat 4).
 
Kedua, dalam rapat-rapat di DPR terasa lebih didasarkan pada kepentingan pribadi, kelompok atau partai; kurang mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Ini antara lain dapat disimak dalam proses perkembangan dan pembahasan sampai disahkannya undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jika ini tidak disikapi penuh kearifan, dapat menjadi sumber konflik berkepanjangan yang memudarkan rasa kebangsaan.
 
Ketiga, terjadi konflik-konflik kepentingan antar-kelompok/partai yang menyebabkan terhambatnya pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati).
 
Keempat, pelaksanaan otonomi daerah cenderung menyimpang kearah praktek-praktek penggunaan wewenang yang tidak proporsional oleh pemerintah daerah.
 
Kelima, perangkapan jabatan para pejabat negara (eksekutif, legislatif) dengan jabatan sebagai ketua umum partai politik, merupakan sumber dualisme dalam pengambilan kebijakan-kebijakan. Akibatnya, wajar jika kepentingan bersama (bangsa dan negara) menjadi kurang dikedepankan.

Harapan dan Solusi

Mencermati keadaan saat ini, penulis ingin mencoba menyampaikan beberapa harapan yang dapat dijadikan masukan dalam mencari jalan pemecahan menuju pencerahan kehidupan berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan.

Pertama, pemantapan nilai kebangsaan; dapat dilakukan dengan sosialisasi pengenalan, penghayatan dan pengamalan dalam pembudayaan jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan 45 sebagai nilai kejuangan bangsa. Yang tergolong sebagai nilai dasar dalam jiwa semangat dan nilai-nilai kejuangan 45 adalah: Semua nilai yang terdapat dalam setiap sila dari Pancasila; Semua nilai yang tedapat dalam proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945; Semua nilai yang terdapat dalam UUD 1945, baik dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya.

Sedangkan nilai yang tergolong sebagai nilai operasional adalah nilai-nilai yang tumbuh-kembang sejalan perkembangan waktu. Mengacu pada angka keramat 17 Agustus 1945, nilai-nilai operasional itu adalah: Ketakwaan pada Tuhan Yang Mahaesa; jiwa dan semangat merdeka; nasionalisme; patriotisme; rasa harga diri sebagai bangsa yang merdeka; pantang mundur dan tidak mengenal menyerah; persatuan dan kesatuan; anti penjajah dan anti-penjajahan; percaya pada diri sendiri dan atau percaya pada kekuatan dan kemampuan sendiri; percaya pada hari depan yang gemilang dari bangsanya; idealisme kejuangan yang tinggi; berani, rela dan ikhlas berkorban untuk tanah air, bangsa dan negara; kepahlawanan; sepi ing pamrih rame ing gawe; kesetiakawanan, senasib sepenanggungan dan kebersamaan; disiplin yang tinggi; ulet dan tabah menghadapi segala macam ancaman, tantangan, dan gangguan.

Jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan 45 sebagai nilai kejuangan bangsa merupakan ruh bangsa yang harus tetap dihidupkan dalam diri setiap anak bangsa. Mengisi kemerdekaan dengan pembangunan juga merupakan perjuangan yang penuh tantangan, penuh pengorbanan, dan tidak mengenal akhir.

Ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang dihadapi bangsa dapat ditangkal bila bangsa Indonesia mempunyai cara pandang yang sama tentang diri dan lingkungannya berdasarkan ide nasionalnya yaitu Pancasila dan UUD 1945. Pemahaman wawasan (cara pandang) kebangsaan sesuai cita-cita kemerdekaan bangsa menjadi sangat penting untuk disosialisasikan dalam upaya membangunkan kesadaran bela negara. Kesadaran bela negara adalah kesadaran tiap individu warga negara untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat, bangsa dan negaranya berdasarkan rasa cinta pada negara dan tanah air, yang menumbuhkan sikap dan perilaku bersedia berkorban untuk melindungi negara secara utuh.

Kedua, terhadap amandemen UUD 1945; Komisi Konstitusi hendaknya melakukan kajian dan peninjauan ulang untuk meluruskan amandemen I, II, III, dan IV sesuai komitmen bangsa dalam penyelenggaraan negara seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Bila hal ini tidak dapat dilakukan, dan bahkan sampai terjadi keadaan darurat akibat perkembangan politik yang tak terkendali, maka diharapkan presiden mengambil langkah yang tegas dan bijaksana dengan menyatakan dekrit kembali ke UUD 1945.

Ketiga, pemerintahan yang bersih dan berwibawa; untuk mencegah dualisme kepentingan dalam pengambilan kebijakan, agar tercegah pemihakan pada kepentingan partai, maka pasca Pemilu 2004 rangkap jabatan bagi para pejabat negara (eksekutif maupun legislatif) dengan pimpinan partai politik, seyogianya ditiadakan. "My loyalty to my party ends, if my loyalty to my country begins" (loyalitas saya pada partai berhenti manakala loyalitas saya pada negara dimulai).

Keempat, kehidupan politik yang santun dan beradab; Semua anggota legislatif diharapkan menjunjung tinggi kepercayaan rakyat. Dalam menanggapi situasi di luar maupun dalam rapat-rapat dewan legislatif hendaknya berpegang teguh pada prinsip-prinsip konstitusional, demokratis, dialogis, konsepsional, rasional, obyektif, positif, konstruktif, berorientasi pada pencarian jalan keluar terbaik (solution oriented), dan institusional (tidak perlu dengan pengerahan massa).

Kelima, harapan bagi seluruh komponen bangsa; Sebagai bangsa yang merdeka kita bertanggung jawab pada kelangsungan hidup bangsa dan negara. Demi terwujudnya kehidupan demokratis yang mapan di tanah air, hendaknya senantiasa melandaskan diri pada ciri-ciri masyarakat sipil (civil society), dengan mewujudkan kebebasan berkomunikasi dan berserikat yang santun dan beradab; Masyarakat politik (political society) yang ditandai adanya pemilu bebas, demokratis, membentuk lembaga-lembaga kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang legitimate; Tatanan Hukum (Rule of law) yang menuntut supremasi hukum dengan menjunjung tinggi konstitusi; Perangkat penyelenggara negara (state apparatus) yang mematuhi norma-norma birokrasi yang legal rasional, bersih dan berwibawa (clean governance); Masyarakat ekonomi (Economic society), dicirikan dengan dibangunnya lembaga pasar yang sehat, berkeadilan, dan mengutamakan rakyat banyak.

       A.    Sejarah Perkembangan Jiwa Semangat dan Nilai-Nilai 19945

     1.      Periode I: Masa Sebelum Pergerakan Nasional

Masa kejayaan kerajaan-kerajaan di wilayah nusantara: masuknya berbagai agama, dan kedatangan bangsa-bangsa barat. Wilayah nusantara dahulu ditandai dengan adanya kerajaa-kerajaan Hindu, Budha dan Islam yang merdeka dan berdaulat. Kerajaan-kerajaan itu antara lain adalah Sawerigading, Sriwijaya, Majahpahit dan Mataram. Sebagian besar kerajaan-kerajaan ini adalah kerajaan bahari yang kekuasaannya tidak hanya terbatas pada wilayah Indonesia sekarang, tetapi juga meliputi sebagian wilayah Asia Tenggara.

Para pelaut kerajaan-kerajaan itu mengarungi lautan dan samudera sampai jauh di luar wilayah Nusantara, ke berbagai kawasan dan negara. Seperti Asia Timur, Asia Selatan, bahkan sampai Madagaskar, dan Timur Tengah.

Letak geografis wilayah nusantara sangat strategis karena wilayah ini dalam jalur perdagangan manca negara. Di samping itu, kekayaannya akan hasil bumi, seperti rempah-rempah telah mengundangminat bangsa Asia lainnya dan Eropa, seperti Portugis, Belanda dan Inggris. Pada mulanya bangsa Eropa itu datang untuk berdagang, tapi lama-kelamaan mereka menjadi penjajah. Hal inilah yang menimbulkan perlawanan kerajaan-kerajaan nusantara bersama0sama rakyatnya, yang pada mulanya bertujuan untuk membendung pengarung para penjajah, kemudian bertujuan merebut kembali kehormatan dan kedaulatan mereka sebagai bangsa dan negara merdeka.

Dalam periode ini mulai masuk berbagai agama, seperti agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen yang kemudian dianut penduduk dengan penuh kerukunan.

Dalam periode ini jiwa, semangat dan lain-lain kejuangan yang timbul, antara lain adalah kesadaran akan harga diri, jiwa merdeka, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kerukuna hidup umat beragama, kepeloporan, serta keberanian.

      2.      Periode II: Masa Pergerakan Nasional

Masa proses keruntuhan kerajaan-kerajaan nusantara, perlawanan kembali bangsa Indonesia dan perlawanan di bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Penjajah Jepang, dan lahirnya Pancasila. Untuk merebut kembali kehormatan dan kedaulatan, yang telah direnggut penjajah, timbulnya perlawanan rakyat kerajaan-kerajaan di wilayah nusantara di bawah pimpinan-pimpinan mereka. Perlawanan ini bersikap lokal, sendiri-sendiri dan tidak terkoordinasi. Oleh karena itu satu persatu perlawanan mereka dipatahkan karena belum memiliki wawasan persatuan dan kesatuan bangsa. Melalui politik devide et empera (pecah dan kuasai), penjajah semakin bergelora dan rasa harga diri sebagai bangsa yang tidak mau di jajah menggugah semangat dan perlawanan seluruh lapisan masyarakat terhadap penjajahuntuk merebut kembali kedaulatan dan kehormatan bangsa. Di samping itulah timbul berbagai jiwa dan semangat kepahlawanan, kesadaran anti penjajahan, kesadaran akan perlunya persatuan dan kesatuan perjuangan, serta nilai-nilai kejuangan lain. Pada permulaan abad XX perlawanan bersenjata, seperti yang diuraikan di atas beralih ke perjuangan di bidang-bidang lain yakni bidang ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya. Hal ini timbul karena para tokoh dan pemimpin pergerakan pada waktu itu sadar pula bahwa perjuangan bersenjata saja tidak akan membawa hasil. Mereka sadar pula bahwa perjuangan seterusnya perlu ada koordinasi, persatuan dan kesatuan perjuangan.

Tahap perjuangan ini dikenal sebagai kebangkitan nasional. Pergerakan-pergerakan seperti Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam/Sarekat Islam, indische Partij, pergerakan Emansipasi Wanita yang dipelopori antara lain R.A Kartini timbul dalam tahap perjuangan ini. Dalam tahun 1928 terjadilah sumpah pemuda, yang merupakan manifestasi tekad dan keinginan bangsa Indonesia menemukan dan menentukan identitas, rasa harga diri sebagai bangsa. Rasa solidaritas menuju ke persatuan dan kesatuan bangsa, yang akhirnya menjurus ke kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.

Dalam tahun 1942-1945 samasa berkecamuknya perang dunia II Jepang menjajah wilayah Indonesia. Penjajahan oleh jepang pada pihak mengakibatkan penderitaan dan tekanan yang tidak terhingga pada rakyat Indonesia. Pada pihak lain, kesempatan memasuki berbagai organisasi militer yang diberikan oleh tentara pendudukan Jepang, dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh rakyat Indonesia khususnya para pemuda untuk menggembleng diri dalam memperkokoh semangat dan memupuk militansi yang tinggi untuk merdeka. Kedua-duanya, yakni ketahanan akan kependeritaan keprihatinan rakyat serta semangat militansi yang tinggi. Dalam tahap perjuangan berikutnya membuktikan besar hikmah dan manfaat dalam merebut dan menegakkan kemerdekaan. Pada saat-saat akhir penjajahan jepang, yakni pada tanggal 1 Juni 1945, di dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) Ir. Suekarno menyampaikan pokok-pokok pikirannya tentang dasar filsafah bangsa dan negara, yang dinamakan Pancasila, yang sebelumnya didahului pandangan-pandangan para tokoh pendiri negara lain.

Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tahap perjuangan antara kebangkitan nasional dan akhir penjajahan Jepang merupakan masa persiapan kemerdekaan. Para pemimpin dan tokoh pergerakan di tahap-tahap permulaan kebangkitan nasional telah mempersiapkan diri menghadapi kemerdekaan yang menurut perhitungan mereka kesempatan untuk meraihnya akan tiba kalau perang pasifik pecah. Mereka telah mempersiapkan pula kader-kader bangsa peluang yang ada pada zaman Jepang tidak disia-siakan untuk lebih meningkatkan persiapan dalam rangka menghadapi perjuangan kemerdekaan. Jiwa dan semangat merdeka semakin digelorakan. Jiwa, semangat dan nilai-nilai kejuangan lainnya, seperti kesadaran berbangsa dan kebangsaan, kesadaran akan persatuan dan kesatuan perjuangan kesadaran anti penjajah dan penjajahan, nasionalisme, patriotisme, serta jiwa persatuan dan kesatuan semakin digelorakan.

     3.      Periode III: Masa Proklamasi dan Perang Kemerdekaan

Titik kulminasi perjuangan kemerdekaan bangsa tercapai dengan Proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945 disahkan lah Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan negara, serta Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara. Lahirnya negara Republik Indonesia menimbulkan reaksi dari pihak Belanda yang ingin menjajah kembali dan mulailah perjuangan yang dahsyat dalam segala bidang, terutama perjuangan dan perjuangan dalam bidang politik dan diplomasi.

Dalam periode ini, jiwa, semangat dan nilai-nilai kejuangan yang timbul dan berkembang dalam periode I, dan II, menjadi bekal, landasan, serta daya dorong mental spiritual yang tangguh dan kuat dalam perjuangan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan yang di Proklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.

Perjuangan bersenjata dan perjuangan dalam bidang politik dan diplomasi itu melahirkan nilai-nilai operasional, yang memperkuat jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan yang timbul sebelumnya, disantaranya rasa harga diri sebagai bangsa yang merdeka , percaya pada diri sendiri dan kemampuan diri sendiri, percaya kepada hari depan yang gemilang, idealisme, kejuangan yang tinggi, semangat berkorban untuk tanah air, bangsa dan negara, sepi ing pamrih rame ing gawe, nasionalisme, patriotisme, jiwa kepahlawanan, rasa kesetiakawanan, senasib seperjuangan, rasa kekeluargaan dan kegotongroyongan, semangat tidak kenal menyerah dan pantang mundur serta nilai-nilai kejuangan lainnya.

Jiwa merdeka berkembang menjadi semangat merdeka yang semakin menggelora di dalam dada para pelaku perjuangan pada tahap ini dan merupakan motivasi perjuangan yang kuat, yang pada giliranya merupakan daya pendorong yang kuat pula bagi berkembangnya jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan lain.

Jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan yang tumbuh serta berkembang hingga akhir periode III kemudian diberi nama dan di kenal sebagai jiwa, semangat, dan nilai-nilai 45.

      4.      Periode IV: Masa Perjuangan Mengisi Kemerdekaan

Perjuangan bangsa dalam periode IV ini tidak terbatas dalam waktu. Dalam periode ini berlangsung perjuangan yang tidak henti-hentinya untuk mencapai tujuan nasional akhir, seperti yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam tahap perjuangan ini tetap diperlukan jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan yang merupakan landasan dan daya dorong mental sepiritual yang kuat untuk mencapai segala ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan terhadap perjuangan itu tahap demi tahap. Dalam periode ini jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan yang hakiki, yang telah lahir dan berkembang dalam tahap-tahap perjuangan sebelumnya tetap lestari, yakni nilai-nilai dasar yang terdapat dalam Pancasila, Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kemungkinan besar yang akan mengalami perubahan adalah nilai-nilai operasional secara kuantitatif dan kualikatif. Kuantitatif dalam masa perjuangan mengisi kemerdekaan kemungkinan nilai-nilai diri akan bertambah. Kualitatif kemungkinan besar dalam masa perjuangan mengisi kemerdekaan ini akan terjadi perubahan-perubahan sesuai dengan dinamika dan kreatifitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

   B.  Rumusan Jiwa, Semangat, dan Nilai-nilai 45

      1. Pengertian

Prengertian-pengertian yang digunakan dalam rumusan jiwa, semangat dan nilai-nilai 45 adalah sebagai berikut:
      
      a. Jiwa

      Secara umum, jiwa adalahsuatu yang menjadi sumber kehidupan dalam ruang lingkup mahluk Tuhan Yang Maha Esa. Jiwa bangsa adalah kekuatan batin yang terkandung dalam himpunan nilai-nilai pandangan hidup suatu bangsa.
 
      b. Semangat

      Semangat adalah manifestasi dinamis atau kemauan untuk bekerja dan berjuang. Jiwa dan semangat suatu bangsa menentukan kualitas nilai kehidupannya.
    
      c.  Nilai
     
     Nilai adalah suatu penyifatan yang mengandung konsepsi yang digunakan dan memiliki keefektifan yang mempengaruhi tingkah laku.

      d. Jiwa 45

    Jiwa 45 adalah sumber kehidupan bagiperjuangan bangsa Indonesia yang merupakan kekuatan batin dalam merebut kemerdekaan menegakkan kedaulatan rakyat, serta mengisi dan mempertahankannya.

      e. Semangat 45

    Semangat 45 adalah dorongan dan manifestasi dinamis dari jiwa 45 yang membangkitkan kemauan untuk berjuang merebut kemerdekaan bangsa menegakkan kedaulatan rakyat serta mengisi dan memepertahankannya.

      f.  Nilai 45
    
    Nilai 45 adalah nilai-nilai yang merupakan perwujudan jiwa, dan semangat 45 bersifatkonseptual yang menjadi keyakinan, kainginan dan tujuan bersama bangsa Indonesia dengan segala keefektifan yang mempengaruhi tindak perbuatan bangsa dalam merebut kemerdekaan, menegakkan kedaulatan rakyat, serta mengisi dan mempertahankannya.

      Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa antara ketiga hal itu, yakni jiwa, semangat, dan nilai-nilai 45 sesungguhnya terdapat keterkaitan yang sangat erat. Malahan dapat dikatakan bahwa hal-hal tersebut dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan dan harus dilihat sebagai satu-kesatuan yang bulat dan utuh.

      2.  Rumusan jiwa, semangat, dan nilai-nilai 45

Sesuai dengan apa yang diuraikan dimuka, jiwa, semangat, dan nilai-nilai 45 adalah jiwa, semangat, dan nilai-nilai keuangan bangsa Indonesia, yang dapat dirinci menjadi nilai-nilai operasional sebagai berikut:

      a. Nilai-nilai Dasar

Tergolong dalam nilai-nilai dasar adalah:
      1) Semua nilai yang terdapat dalam setiap sila dari Pancasila.
      2) Semua nilai yang terdapat dalam Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
      3) Semua nilai yang terdapat dalam Undang-Undang dasar 1945, baik dalam pembukaan maupun pasal-pasalnya.
      
      b. Nilai-nilai operasionalnya

    Nilai-nilai operasionalnya adalah nilai-nilai yang lahir dan berkembang dalam perjuangan bangsa Indonesia selama ini dan merupakan dasar yang kokoh dan daya dorong spiritual yang kuat dalam setiap tahap perjuangan bangsa seterusnya untuk mencapai tujuan nasional akhir, seperti tercantum dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 serta untuk mempertahankan dan mengamankan semua hasil yang tercapai dalam perjuangan tersebut.

Nilai-nilai operasional ini meliputi:
      1) Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
      2) Jiwa semangat merdeka
      3) Nasionalisme
      4) Patriotisme
      5) Rasa harga diri sebagai bangsa yang merdeka
      6) Pantang mundur dan tidak kenal menyerah
      7) Persatuan dan kesatuan
      8) Anti penjajah dan penjajahan
      9) Percaya kepada diri sendiri dan atau percaya pada kekuatan dan kemampuan diri
    10) Percaya kepada hari depan yang gemilang dari bangsanya
    11) Idealisme kejuangan yang tinggi
    12) Berani, rela, dan ikhlas berkorban untuk tanah air, bangsa dan negara
    13) Kepahlawanan
    14) Sepi ing pamrih rame ing gawe
    15) Kesetiakawanan, senasib seperjuangan dan kebersamaan
    16) Disiplin yang tinggi
    17) Ulet dan tabah menghadapi segala macam ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan.



PERAN DOKTRIN SISHANKAMRATA dan PJSN’45

      Keberadaan doktrin pertahanan Sishankamrata merupakan bagian dari Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 1982, kemudian Panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja (BP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menyepakati untuk memasukkan doktrin ini dalam pasal 30 pada proses amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dengan demikian keberadaan doktrin pertahanan tersebut menjadi semakin tinggi dalam sistem sistem perundang-undangan di Indonesia.

      Secara konstitusional jelaslah bahwa sistem pemerintahan yang akan dianut Indonesia adalah menghargai civilian supremacy dalam hubungan sipil-militer. Militer hanya memainkan peran profesional untuk menghadapi ancaman yang bersifat militer dan berasal dari luar. Keputusan mengenai penggunaan kekuatan militer berada di tangan kepemimpinan sipil. TNI bukan merupakan institusi politik, dan fungsi TNI pun dapat dibedakan secara tegas antara keadaan negara dalam perang atau damai, meskipun hal ini dapat pula menimbulkan persoalan apabila secara hitam putih diterapkan pada sebuah masyarakat yang menghadapi ancaman yang kompleks, baik eksternal maupun internal, sehingga pemaknaan objective civilian control adalah minimalisasi intervensi militer dalam politik dan sebaliknya juga minimalisasi intervensi politik ke dalam tubuh militer.

      Doktrin Sistem Pertahanan dan Kamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), menempatkan keberadaan masyarakat dalam konteks kesiapan menghadapi ancaman fisik dari luar Indonesia. Orientasi war readiness ini terasa kental sekali dalam Doktrin Sistem Pertahanan dan Kamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), sebagai sebuah corak yang jelas dari pemikiran kaum realis. Hal ini merupakan hal yang bisa dipahami jika melihat pengalaman perang yang dialami Indonesia. Pengalaman perang ini dialami Indonesia mendorong aktor militer untuk menimbulkan suatu wacana melibatkan masyarakat sipil dalam menghadapi peperangan memperkuat posisi dan peran angkatan bersenjata.
 
     Wacana ini berusaha untuk membentuk pemahaman bahwa TNI merupakan suatu entitas yang lahir dengan sendirinya (self-creating entity) dan memiliki kemanunggalan dengan rakyat. Sejarah pergerakan dan perjuangan untuk kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia menunjukkan proses pembentukan unsur kemiliteran yang berangkat dari milisi sipil.
 
     Wacana ini berpengaruh besar terhadap pembentukan strategi pertahanan negara, yaitu aktor militer selalu melibatkan partisipasi rakyat dalam perumusan strategi pertahanan negara. Ini terlihat jelas dari Pasal 4 Ayat 1, UU No 20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa "Hakikat pertahanan keamanan negara adalah perlawanan rakyat semesta..." Operasionalisasi dari perlawanan rakyat semesta tersebut dilaksanakan dengan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) (Pasal 4 Ayat 1 UU No 20/1982). Doktrin Sishankamrata ini menempatkan rakyat sebagai "sumber kekuatan bangsa yang menjadi kekuatan dasar upaya pertahanan negara" (Pasal 2 UU No 20/1982). Upaya pertahanan ini memiliki komponen perlawanan rakyat semesta yang diwujudkan dengan "mempersenjatai rakyat secara psikis dengan ideologi Pancasila dan secara fisik dengan keterampilan bela negara yang diselenggarakan oleh pemerintah" (Pasal 9 UU No 20/1982). Walaupun UU No.20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia telah mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman, akan tetapi keberadaan doktrin Sishankamrata tetap dipertahankan sebagai inti dari perlawanan yang melibatkan seluruh warga negara Indonesia (Pasal 1 ayat 2 UU No. 3 tahun 2002) . Dan sifat keterlibatan warga negara dalam pertahanan negara adalah hak dan wajib untuk turut serta (pasal 9 ayat 1 UU No.3 tahun 2002).